Jumat, 21 Februari 2014

Melihat perjalanan Islam di Kompleks Tamansari Yogyakarta

'Mau kemana hari ini ?', tanya Mba Nita kakak sepupu yang tinggalnya di Jogja. 'Tamansari' dengan spontan kujawab karena memang penasaran dengan Tamansari yang katanya tempat berendemnya raja dan para selir serta anak-anaknya. 'Aku aja belum pernah kesana', jawab kakak sepupuku.

Tamansari memang bukan tempat wisata hiburan atau tempat oleh-oleh yang biasa diburu pengunjung. Karena Tamansari merupakan wisata sejarah yang mungkin membosankan, bahkan penduduk Jogja nya sendiri saja belum tentu pernah kesana. Tetapi aku tetep penasaran dan memang meniatkan harus kesana ketika sampai di Jogja.

Tamansari atau yang biasa disebut dengan Istana Air atau Water Castle ini terletak tidak begitu jauh dari hotel tempat aku, mama dan mas banu menginap (Ibis Style Hotel), yaa sekitar 10 menit lah naik becak (aga' lama karena ada beberapa tanjakan, jadi si abang becak pelan-pelan). Gerbang utama Tamansari awalnya berada di bagian depan katanya, tetapi karena sekarang sudah tertutup pemukiman para abdi dalem keraton (yang menurutku rada semrawut dan ngga tertata) pintu masuk melalui pintu keluar (jadi dibalik). Ketika masuk ke komplek Tamansari kita akan melihat beberapa tembok asli yang kata si mas guide ini menggunakan putih telur dan air nira sebagai perekat bata (air nira bukannya manis ya, rumahnya pada ngga disemutin?).

Bagian belakang yang menjadi tempat masuk istana air

Kompleks pemukiman abdi dalem di luar istana air

tembok asli yang masih direkatkan dengan campuran putih telur dan air nira


Lalu sebelum masuk akan terlihat rumah asli jogja yang katanya ada pusaka-pusaka keraton di dalamnya. Pagar rumah tersebut digembok, jadi aku bfoto pendopo bagian teras rumah dengan naik ke temboknya sedikit. Setelah melihat hasil foto sempat terheran-heran karena sepertinya sering lihat model rumah ini, ngga lama si mas guide bilang 'Kalau mba suka nonton drama FTV yang di SCTV itu nah terasnya suka di sewa mba, terasnya aja tapi, bagian dalam tidak boleh'. Hooo...ic...terjawab pertanyaannya, karena aku sering nonton FTV, walau ceritanya rada aneh-aneh tapi cukup menghibur daripada sinetron.

ini yang sebenarnya pintu masuk, tapi telat tertutup pemukiman


pendopo rumah asli yang dipakai syuting FTV


Tidak jauh dari pintu masuk ada 4 ruang yang katanya sebagai tempat istirahat para pengawal raja. Bagian depan untuk masuk dibuat lebih rendah, kata si mas giude adalah filosofi jawa yang musti menunduk dulu ketika bertemu orang lain. Beberapa langkah ke depan kita akan menemukan pohon dengan buah unik, 'buah kepel' namanya. Konon tanaman kepel adalah tanaman endemik yang dikembangkan oleh abdi dalem keraton yang ketika buahnya matang akan terasa manis untuk disajikan kepada para selir agar keringat mereka wangi (masa siih, sayang buahnya masih mentah, padahal kalau matang boleh diambil katanya)

ruang tempat istirahat para prajurit pengawal raja


ini penampakan buah kepel yang kalau matang akan sebesar kepalan tangan orang dewasa


Perjalanan berlanjut ke lokasi kolam yang digunakan untuk berendem para selir, dan disebelahnya katanya kolam untuk berendam anak-anak. Air di kolam keluar dari patung berbentuk naga dengan ruang kecil yang temboknya dibentuk mirip kubah masjid (jadi raja dulu itu sudah menggunakan filosofi islam, tetapi masih menerapkan sebagian karena konon katanya masih tahap belajar mengenal dan mengamalkan). Di sampingnya (entah samping atau depan yaa) ada ruangan dengan tangga ke atas dan jendela dengan jeruji kayu yang katanya digunakan raja untuk mengamati keluarganya berendam (kata beberapa blog si itu jendela untuk raja mengamati untuk memilih selir mana yang akan menemaninya memberikan pelayanan, iiihhh....jadi berasa aga gimanaa gituu kaum wanita dipilih).

kolam yang masih dikuras karena masih banyak abu vulkanik

tempat raja mengamati keluarganya


Di balik ruangan khusus raja ada ruangan yang jaman sekarang sih disebutnya ruangan spa atau sauna, berarti metode spa sudah dikenal sejak jaman dulu yaa. Di sisi lain ruangan ada kolam kecil yang digunakan khusus untuk berendamnya raja.

tempat sauna raja

kolam khusus raja


Perjalanan di kompleks Tamansari berlanjut ke bagian masjid bawah tanah (apaaaa, jaman dulu udah bisa bikin masjid di bawah tanah??) iyaa loo, dari beberapa spot-spot yang dijelaskan oleh si mas guide itu terbukti kalau jaman dulu sudah mengenal teknologi. Sampai di pintu masuk masjid bawah tanah aku langsung bingung, 'kok diatas, katanya bawah tanah?'. Ternyata dulunya area sekitaran masjid adalah danau (sekarang sudah menjadi pemukiman para abdi dalem keraton dan keluarga), oleh karena itu ketika memasuki masjid kita harus menaiki tangga dulu lalu menuruni lorong (dan ketika sudah turun sih masuk dalam logika kalau dulunya berada di bawah air, karena posisinya ada di bawah pemukiman).

lorong jalan masuk ke masjid

inilah sumur yang dulunya dipakai untuk berwudhu dan 4 tangga dan 1 tangga keatas sebagai filosofi rukun islam


Masjid bawah tanah ini memang bentuknya sama sekali tidak mirip masjid, karena didesain memutar dengan bagian tengah sumur yang dulunya air memancur ke atas lalu digunakan untuk berwudhu. Di sekeliling sumur ada 4 tangga dan 1 tangga penghubung ke bagian atas (jadi lantai paling bawah adalah tempat jamaah wanita dan diatas tempat untuk pria). Total tangga untuk naik ke atas dikabarkan sebagai filosofi rukun islam, 4 tangga di bawah dan 1 tangga pusat ke atas yaitu menjalankan 4 rukun islam pertama (2 kalimat syahadat, sholat, zakat, puasa) lalu puncaknya naik Haji (jika mampu). Karena ruang bawah tanah, maka ketika tiba waktunya sholat sang iman konon tinggal menepuk tanggan yang suaranya bergema ke seluruh ruangan.

Setelah melihat masjid bawah tanah kami pun berjalan jalan di kompleks pemukiman yang juga terdapat gallery-gallery serta melihat langsung beragam aktifitas warga membuat kerajinan sambil mendengarkan si mas guide menjelaskan. Kabarnya lingkungan Tamansari akan di tata oleh keluarga keraton, yaa kalau aku sendiri sebagai wisatawan sih memang merasa seperti semrawut banget disekitarnya, padahal cagar budaya Tamansari ini masuk dalam daftar situs warisan dunia di UNESCO loo, harus dijaga lingkungan sekitarannya.

mejeng di tembok bermotif batik asli jogja

Mas banu serius banget ngeliat bapak pembuat wayang kulit

memberikan titik pada batik yang sudah diberi warna




Tidak ada komentar:

Posting Komentar