Beres beli oleh oleh serba angklung di
Saung Angklung Udjo perjalanan dilanjutkan dengan tujuan Bukit Moko. Menuju ke Bukit Moko dengan meneruskan Jalan Padasuka ke arah atas menuju Desa Cimenyan sampai mentok dengan waktu tempuh sekitar setengah sampai dengan 1 jam. Nah mentoknya ini yang membuat perjalanan terasa agak jauh mengingat tipe jalanan kecil dan menanjak curam (meskipun di aplikasi peta terpampang waktu tempuh kisaran 30 menit aja).
Di sepanjang perjalanan menuju Bukit Moko kita disuguhkan pemandangan yang 'hijau' alami nan sejuk. Sebenarnya pemandangan serupa dengan daerah puncak,
yang juga menampilkan susunan sawah dan kebun yang rapih. Cuma yaaa
tetep yaa, orang kota yang biasa ngeliat pemandangan tembok beton kalau
melihat yang 'hijau-hijau' alami langsung terkesima.
|
mirip puncak kan |
Sebagai informasi, tidak ada kendaraan umum yang lewat sini. Satu-satunya cara mencapai Bukit Moko adalah
dengan menggunakan kendaraan pribadi, sepeda, motor, mobil, atau kalau
ingin ekstrim bisa dengan berjalan kaki. Perlu diingat, karena kondisi jalanan yang menanjak terjal dan terbilang ekstrim maka mobil yang digunakan usahakan jangan sedan yaa.
Bukit Moko ini sebenarnya sudah dikenal oleh warga Bandung sebagai puncak tertinggi kota Bandung dengan ketinggian 1500m diatas permukaan laut. Keberadaan Bukit Moko makin terkenal dan populer via jejaring sosial semenjak banyak orang berpose di atas puncak Bukit Moko ketika matahari terbit atau terbenam dan pemandangan malam dengan kelap kelip lampu kota Bandung. Keinginan mengunggah foto yang serupa lah yang menjadikan banyak orang mulai berbondong bondong datang ke tempat ini.
|
sambil ngambil napas ketika nanjak, pose duluuu !! |
Sampai di area parkir Bukit Moko kami perlu menanjak cukup tinggi. Untungnya Mas Banu tetap enjoy dan ngga rewel waktu nanjak (malah bundanya yang ngos ngos an akibat minim olahraga). Lokasi pertama yang terlihat adalah Warung Daweung, warung yang tenar karena letaknya diatas Bukit Moko dan jadi spot foto-foto matahari terbit/terbenam. Di sisi lain terdapat penunjuk arah menuju Bukit Bintang dengan hamparan hutan pinus yang menjulang. Di tengah pohon-pohon tinggi itulah yang juga menjadi spot foto favorit yang dipajang di sosial media. Untuk masuk ke kawasan hutan pinus pengunjung dikenakan tarif Rp.8.000/orang.
|
foto di pojok Warung Daweung |
|
begini penampakan bukit pinusnya dan abaikan modelnya (huhu....tutup pala biar ga dijitak) |
Karena berpikir jalan akan terus menanjak, aku takut kondisi si mas kecape'an (anaknya sih seger buger keliatannya, tapi jujur emaknya yang berasa pegel banget), maka memutuskan untuk stop di Warung Daweung bareng Windy. Sementara Yayu dan temannya Lala meneruskan menuju hutan pinus. Warung Daweung menjual paket makanan satu harga Rp.25.000 dengan beberapa pilihan isi paket. Secara garis besar isi dalam paket tersebut terdapat air mineral, minuman hangat dan makanan. Perlu diperhatikan mengingat keberadaan diatas bukit maka jangan sekali-sekali bisa membayar dengan debit apalagi credit card di warung ini. Oleh karena itu pastikan membawa uang cash yang cukup.
Menjelang magrib Yayu dan temannya kebali ke Warung Daweung dan menjelaskan kondisi jalan yang landai di hutan pinus (huhu....next time siapkan kondisi prima biar bisa total travellingnya). Sayangnya beberapa saat sebelum matahari terbenam turunlah gerimis mengundang, jadi matahari terbenamnya agak tertutup awan, tapi tetep bisa dinikmati keindahannya, lumayanlahhh daripada manyun.
|
sesaat sebelum langit gelap |
|
ngeliat apa siiih tantee ? |
|
ketika langit sudah gelap |
Karena kondisi gerimis yang terus menerus datang tanpa berhenti, maka kondisi jalan bisa dipastikan licin (khawatir gimana turunnya). Dan kekhawatiran saya ternyata benar adanya. Kondisi jalan yang menggunakan batu kali menjadi super licin ketika terkena tetesan hujan plus tanah lempung dari sekitarnya yang bisa dibayangkan bagaimana licinnya dan kami harus melewatinya dengan kondisi MENURUN !. Butuh perjuangan ekstra dengan beberapa kali terpeleset ketika menuruni bukit. Kondisi terpeleset inilah yang ditakutkan karena berpotensi untuk tergelincir sampai ke bawah, plus minimnya penerangan disana. Kondisi jalan yang seperti itu memang terbilang sulit dilintasi walaupun tanpa alas kaki sekalipun (makin berbahaya tanpa alas kaki karena beberapa bagian sudut batu kali yang tajam) mengingat alas kaki kami semua rata-rata bersol karet yang bisa dibilang nyaman untuk kondisi ekstrim, tapi ternyata tidak untuk jalur kali ini.
Berdasarkan pengalaman aku dan teman-teman, beberapa kondisi berikut perlu diperhatikan sebelum memutuskan pergi ke Bukit Moko :
1. Gunakan kendaraan tinggi yang siap untuk medan menanjak.
2. Bawa uang tunai cukup.
3. Bawa jaket atau sweater, karena kondisi malam yang dingin.
4. Usahakan membawa senter kecil, jangan mengandalkan senter dari ponsel.
5. Pakai alas kaki nyaman, atau sepatu sport.
Jangan lupa baca juga pengalaman kami mengunjungi
Kawah Putih yaaa.